<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7340075\x26blogName\x3dCinta+Cerita\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://cintaku-cerita.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://cintaku-cerita.blogspot.com/\x26vt\x3d-5737285758131982671', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Cerpen Islami | Sunday, January 30, 2005


Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma....(1)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1405 H,

"Kenalkan, ini Rahma, baru tiga hari di sini," ucap ibu pemilik rumah
kost yang akan kutempati. Senyum manis dan tatap mata yang ramah menghiasi
wajahmu. Jilbab putih yang kau pakai semakin menambah keanggunan si pemilik
wajah yang memang cantik.
"Wilfa..., panggil saja Ifa," kataku sambil mengulurkan tangan. Engkau
menyambut dan menggenggam tanganku erat. "Rahma....," katamu lembut. "Mudah-
mudahan Ifa betah tinggal di sini," katamu lagi. "Mudah-mudahan," jawabku.
Itulah awal perkenalanku denganmu, mahasiswi baru asal Jogyakarta. Kita
menempati satu kamar di rumah Bu Santi, pemiliknya. Sikapmu yang ramah dan
terbuka membuat kita cepat akrab, sehingga teman-teman menyebut kita "Dua
Sejoli," di mana ada aku di situ ada kamu. Sejak OPSPEK sampai hari-hari
pertama kuliah kita lalui bersama. Susah senang kita tanggung bersama. Maka
tak heran bila hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari yang menyenangkan
bagi kita, karena masing-masing kita sudah seperti saudara satu sama lain
walaupun tempat asal kita berbeda, engkau dari Jogya, sedang aku dari Bandung.

Muharram 1406 H,

"Subhanallah......., kau kelihatan lebih anggun dengan pakaian itu," ucapmu
kagum. Aku tersipu-sipu malu. Kuperhatikan diriku di kaca dengan busama muslimah
plus jilbab yang kupinjam darimu. Ya, aku berniat memakainya besok pada perayaan
Tahun Baru Islam 1 Muharram di kampus kita. Ketika menjelang tidur, fikiranku
melayang pada kejadian tadi siang. Aku merasa, pantulan bayangan di cermin itu
bukanlah diriku. Kulihat sosok anggun yang memancarkan cahaya iman di balik
busana. Timbul hasrat di hatiku untuk bisa seperti bayangan itu. Tapi...akh,
tidak ! Diriku masih kotor, pengetahuanku tentang Islam masih dangkal, kelaku-
anku masih jauh dari apa yang digariskan Islam. Aku masih suka hura-hura dan
melakukan segala apa yang aku inginkan. Terbayang olehku orang tua dan saudara-
saudaraku di Bandung. Mereka, terutama Bapakku sangat mengharapkan agar aku
cepat menamatkan kuliahku dan bekerja di perusahaan besar tempat di mana Bapak-
ku memegang jabatan penting. Bapakku ingin agar aku seperti anak-anak dari
teman-teman relasinya yang saling berlomba-lomba mencapai kepuasan materi.
"Ada yang kaufikirkan, Fa?" pertanyaanmu mengejutkanku. "Boleh aku tahu ?":
tanyamu lagi. Aku menghela nafasku, dan berkata,"Rahma....,sudah setahun kita
bersama. Belajar..., berdiskusi..., bercanda..., seakan-akan kita tak berbeda."
Aku diam sejenak, kemudian menghela nafas lagi. "Apa maksudmu, Fa ?" tanyamu
sambil menatapku heran. "Yach...,walaupun teman-teman tidak pernah membedakan
kita, tapi hati kecilku tak dapat menyangkal. Ku akui, kita tidak sama. Ma...,
masing-masing kita sudah saling tahu, siapa kau dan siapa aku. Tapi sampai
sejauh itu kau tak pernah menyinggung tentang perbedaan kita. Kau tak pernah
menyinggung tentang pakaian dan penampilanku," kataku hati-hati. Engkau meman-
dangku lekat-lekat seakan ingin berusaha mengetahui isi hatiku. "Boleh kutanya
sesuatu padamu ?" tanyaku. Engkau mengangguk. "Ma..., aku ingin tahu bagaimana
perasaanmu ketika pertama kali kau kenakan busana muslimahmu itu," kataku.
Kulihat kau tersentak. Lama kau pandangi aku, kemudian berkata,"Sebelum kujawab
pertanyaanmu, secara jujur kukatakan bahwa sebenarnya telah lama aku menanti
pertanyaan seperti itu darimu. Dan baru sekarang kau menanyakannya, tanpa aku
harus memancingmu, karena memang itulah yang aku harapkan. Fa...,ketika pertama
kali kukenakan busana muslimah ini, berbagai perasaan ada di hatiku, sedih,
terharu, takut, dan perasaan tentram campur jadi satu. Sedih, karena orang
tuaku tak suka melihatku berjilbab. 'Terlalu fanatik', itu kata mereka. Terharu,
karena pertama kali dengan busana muslimah ini kuinjakkan kakiku di SMA, teman-
temanku juga kakak-kakak kelasku yang sudah berjilbab menyambutku dengan haru
dan memberi selamat kepadaku. Tapi rasa takut ketika itu masih menghantuiku
kalau kuingat cerita kakak-kakakku tentang sulitnya mencari pekerjaan bagi si
pemakai jilbab. Tapi..., lepas dari itu semua, ketentraman merasuk di hatiku.
Aku merasa diriku selalu berada dalam tatapan-Nya. Barulah saat itu kusadari,
itulah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yah..., kebahagiaan yang haqiqi.
Akhirnya cobaan-cobaan kuhadapi dengan tabah, karena aku yakin Allah senantiasa
akan menolong hamba-Nya yang sungguh-sungguh melaksanakan syari'at-Nya," katamu
dengan mata berkaca-kaca.

Entah mengapa, sejak itu aku mulai tertarik pada buku-buku Islam terutama
buku-buku tentang wanita, aku mulai rajin mengikuti ta'lim di sela-sela kesi-
bukan kuliah dan praktikumku. Diriku mulai terbiasa dengan rok dan kemeja
lengan panjang. Dan dalam lemariku sudah tersedia tiga buah jilbab yang senan-
tiasa kupakai ta'lim. Hari demi hari kita semakin dekat. Engkau sering menga-
jakku berdiskusi tentang Islam dan hal-hal yang pada mulanya masih terasa
asing bagiku. Akhirnya hasrat yang terpendam di hatiku selama ini mencapai
klimaksnya. Suatu malam kukatakan maksudku untuk berbusana muslimah kepadamu.
Sambil berlinang air mata engkau memelukku dan berkata :"Ifa..., aku bahagia
atas keputusanmu, kita kita sudah betul-betul sama, tidak ada lagi perbedaan
di antara kita. Semoga engkau mendapat berkah-Nya dan semoga Dia senantiasa
memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap berpegang pada syari'at-Nya."
Akhirnya malam yang penuh haru itu kita isi dengan Qiyamul lail untuk lebih
mendekatkan diri kepada-Nya.

(InsyaAllah bersambung)


Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma...(2)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1408 H

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kemarin kita telah menjalani
wisuda. Semua mahasiswa rantauan termasuk kita bersiap-siap pulang ke
kampung masing-masing."Selamat tinggal, kota hujan. Kota penuh kenangan.
Kota tempat kami menyatukan hati dan fikiran. Kota tempat kami menuai
benih-benih iman di hati." Itulah kata-kata terakhir dalam hatiku ketika
mulai menaikkan kaki ke dalam bis yang akan membawaku ke Bandung. Kesedihan
melanda hatiku ketika dalam perjalanan fikiranku melayang, teringat kata-
katamu terakhir kali saat kau mengantarku ke terminal. "Aku harap, kau bisa
datang ke walimahan kami di Jogya nanti," ucapmu sedih campur bahagia. Aku
pun turut bahagia karena tak lama lagi engkau akan mendapat pendamping seorang
ikhwan di kota kelahiranmu. "InsyaAllah, aku datang," ucapku bergetar menahan
haru dan sedih. Waktu itu kita berjanji untuk saling berkirim kabar lewat
surat. Hanya seraut wajah yang berlinang air mata dan lambaian tangan yang
kulihat lewat jendela kaca bis yang mulai bergerak. "Selamat tinggal, Rahma..."
ucapku dalam hati.
Kesedihanku belum reda ketika kulalui hari-hari pertamaku di Bandung,
kota kelahiranku. Tak terasa sebulan berlalu, rasa rindu ingin bertemu
denganmu mulai kutuangkan lewat surat pertamaku ke Jogya. Kutulis juga
permintaan maafku kepadamu atas ketidakhadiranku pada acara walimahanmu.
Walau saat itu ingin rasanya aku ke sana, tapi...musibah telah menimpa
Bapakku dalam perjalanan tugasnya ke Menado. Pesawat yang dinaikinya jatuh
dan beliau dipanggil ke hadirat-Nya. Dua minggu kemudian, suratmu datang.
Dalam suratmu kau mengatakan ikut merasakan kesedihanku dan berharap agar
aku tabah menghadapi musibah itu. Dari isi surat yang kautulis, aku menangkap
sinyal-sinyal kebahagiaan di balik goresanmu, ceritamu tentang Bang Hanif,
suamimu yang kaubilang kelewat sabar, dan sebuah kabar gembira karena kalian
sedang menunggu datangnya si buah hati.

Muharram 1410 H,

Dua tahun berlalu tanpa terasa. Kesibukan-kesibukanku sebagai guru sebuah
TK Islam menyita hampir seluruh waktuku. Walau begitu kusempatkan diriku
untuk membalas surat-suratmu. Tapi anehnya, surat terakhir yang kukirimkan
dua bulan yang lalu, sampai saat ini belum kau balas. Barangkali kau sibuk
dengan Aisyah kecilmu yang sudah berlari ke sana ke mari, mengajarkannya
mengaji, bernasyid, oh...alangkah bahagianya engkau. Aku melihat diriku
sendiri, seperempat abad sudah usiaku dan sampai kini masih tetap sendiri.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberikan aku seorang pendamping
yang akan memberiku buah hati seperti yang kau miliki. Aku tetap sabar menunggu
balasan darimu.
Suatu sore di hari Ahad, seorang perempuan setengah tua datang ke rumahku.
"Ini rumah Ibu Wilfa ?" tanyanya. "Ya, benar....saya sendiri Wilfa," jawabku.
Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk. Sambil mempersiapkan minuman, tak
henti-hentinya aku berfikir mengingat-ingat wajah wanita itu, wajah yang
seakan-akan memendam duka teramat dalam."Rasa-rasanya aku pernah melihatnya,
tapi...di mana ya....?" fikirku. Kupersilahkan dia minum, lalu kutanyakan
maksud kedatangannya mencariku. Setelah dia memperkenalkan diri, barulah aku
ingat bahwa dia adalah ibumu dari Jogya. Engkau pernah menunjukkan foto beliau
kepadaku dulu waktu kita masih kuliah. Sewaktu kutanyakan kepadanya tentang
keadaanmu, wajah yang sendu itu kelihatan bertambah sedih bahkan butiran-butiran
air mata mulai membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Di sela-sela isak
tangisnya, dia mengatakan bahwa engkau telah dipanggil ke hadirat-Nya seminggu
yang lalu. Yah....leukimia yang sejak SMA kau derita telah memisahkanmu dari
mereka yang mencintaimu. Aku terhenyak mendengar ini semua, seakan tak percaya.
"Rahmah, kenapa kau tak pernah bercerita padaku tentang penyakitmu," kataku
terisak. Wanita itu mengatakan bahwa engkau tak pernah menceritakan penyakit
yang kau derita itu pada siapapun termasuk aku dan suamimu. Ingatanku melayang,
teringat pada saat-saat terakhir bersamamu di terminal. Rupanya itulah saat
terakhir aku melihatmu. Engkau telah menghadap-Nya, mudah-mudahan engkau
bahagia di alam sana. Sebelum wanita itu pulang, beliau menyerahkan sepucuk
surat yang kautulis sebelum engkau pergi, dan dia berharap, agar aku dapat
memenuhi permintaan terakhir di surat itu. Kubuka surat itu, dan kubaca :
"Ukhti Wilfa, maafkan bila surat terakhirmu belum sempat kubalas. Aku sudah
merasa Dia akan memanggilku. Leukimia yang telah lama bersemayan di tubuhku
akan segera memisahkanku dari mereka yang kucintai dan mencintaiku. Maafkan
bila selama ini aku bersalah atau berdosa kepadamu. Aku berharap engkau bisa
memenuhi permintaan terakhirku. Tolong jaga Bang Hanif dan Aisyahku. Kuperca-
yakan mereka kepadamu. Aku sudah mengatakan masalah ini pada Bang Hanif, dan
dia berjanji akan berusaha memenuhi permintaanku. Aku mengharap ketulusan
hatimu, ukhti. Didiklah Aisyah bagaikan anak ukhti sendiri."

Wassalamu
Rahma

Air mataku mengalir bertambah deras. Aku hanya berdoa mudah-mudahan aku dapat
melaksanakan pesanmu dengan baik.

(InsyaAllah bersambung)
-----------------------

Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma....(3)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1412 H

"Aisyah...., tolong temani dik Azzam sebentar. Umi mau buatkan susu
dulu," kataku sambil berlari ke dapur. Kesibukanku mendidik Aisyah dan
Azzam bertambah kalau Bang Hanif tidak di rumah. Beliau sedang menghadiri
peringatan tahun baru Islam 1 Muharram di masjid dekat rumah kami. Entah
mengapa, setiap datang bulan Muharram, aku teringat kembali kepadamu, Rahma.
Alhamdulillah...aku bisa memenuhi pesan terakhirmu, dua tahun yang lalu.
Ceritanya begini : Sebulah setelah Dia memanggilmu, seorang ikhwan beserta
gadis kecil berjilbab putih menemui paman dan ibuku untuk melamarku. Walaupun
aku belum pernah melihat Bang Hanif dan Aisyahmu, tapi perasaanku mengatakan
itulah mereka. Setelah kuceritakan isi surat itu kepada paman, akhirnya kami
pun menikah sebulan kemudian. Alhamdulillah....sekarang kami telah memiliki
dua buah hati yaitu Aisyah kita dan Azzam, buah hati kami.
Ukhti....,telah kupenuhi pesanmu. InsyaAllah, akan kudidik mereka agar
menjadi mujahid dan mujahidah yang nantinya akan membela Islam seperti apa
yang kita harapkan. Amiin yaa Robbal'aalamiin.

(Alhamdulillah tammat)
----------------------

(Majalah Ummi No. 4 tahun III Shafar 1412 H/Agustus 1991 M)


*************************
Created at 3:31 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

January 2005[x] September 2005[x] May 2006[x]