<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7340075\x26blogName\x3dCinta+Cerita\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://cintaku-cerita.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttps://cintaku-cerita.blogspot.com/\x26vt\x3d8633805783680848803', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>
 
 

MAGIE | Friday, May 12, 2006


Si John

Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia mencoba memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk, namun semuanya sia-sia belaka. Yang ada di pikirannya hanyalah perkataan Maggie, anaknya, disuatu sore 3 minggu yg lalu.

Malam itu, 3 minggu yg lalu, John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yg sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.

Pada saat john memeriksa pekerjaannya, Maggie, putrinya, yang baru berusia 2 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yg masih baru. Buku baru bersampul hijau bergambar peri.

Dia berkata dengan suara manjanya: "Papa papa, lihat!"
John menengok dan melihat: "Wah buku baru yah"
"Ya papa" katanya sambil berseri-seri "Bacain donk",
"Wah papa sedang sibuk sekali jangan sekarang deh", kata john, yang kembali mengalihkan perhatiannya ke tumpukan kertasnya.

Maggie hanya berdiri terpaku disamping john sambil memperhatikan. Lalu dengan suaranya yg lembut dan dibuat-buat, kembali merayu "tapi mama bilang, papa akan membacakannya untuk maggie"

Dengan perasaan agak kesal, john menjawab "Maggie, dengar! papa sangat sibuk, minta saja mama untuk membacakannya"
"Tapi mama lebih sibuk daripada papa" katanya sendu.
"Lihat papa gambarnya bagus dan lucu"
"Lain kali maggie, sana! papa sedang sibuk", john berusaha untuk tidak memperhatikan Maggie lagi.

Waktu berlalu, Maggie masih berdiri kaku disebelah ayahnya sambil memegang erat bukunya.
Lama sekali John mengacuhkan anaknya.
Tiba2 Maggie mulai lagi "tapi papa, gambarnya bagus sekali dan pasti ceritanya juga bagus, papa pasti akan suka"

"Maggie sekali lagi ayah bilang,lain kali!" dengan agak keras John membentak anaknya.

Hampir menangis, Maggie mulai menjauh "iya deh, lain kali, ya papa lain kali!"

Tapi Maggie kemudian mendekati ayahnya sambil menyentuh lembut ayahnya dan menaruh bukunya dipangkuan ayahnya sambil berkata "Kapan saja papa ada waktu ya,.. papa tidak usah baca untuk Maggie, baca aja untuk papa tapi kalo bisa, bacanya yg keras yah, biar Maggie juga bisa mendengarkannya"
John hanya diam

Kejadian 3 minggu yg lalu itulah yg ada di pikiran John. John teringat akan maggie yang dengan penuh pengertian mengalah. Maggie yg baru berusia 2 tahun meletakkan tangannya yg mungil diatas tangannya yg kasar mengatakan:
"tapi kalo bisa, bacanya yg keras ya pa, supaya maggie juga bisa ikut dengar"
Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yg diambilnya dari tumpukan mainan Maggie di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak terlalu baru sampulnya sudah mulai usang dan koyak.

John mulai membuka halaman pertama, dan dengan suara parau mulai membacanya.
John sudah melupakan pekerjaannya, yg dulu nya amat sangat penting.

Dia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh anak gadisnya di jalan depan rumah.

John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin.
Cukup keras bagi maggie untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yg terakhir.

*************************
Created at 5:00 AM
*************************

Berhijab Berkat Sekolah Anak | Friday, September 23, 2005


Anneke Lutfia Putri
Berhijab Berkat Sekolah Anak

Laporan: YUS

Dorongan nafsu diniawi semakin kuat, sementara kehidupan ukhrawi saya begini-begini saja. Jika tidak berubah sekarang, kapan lagi? Islam menganjurkan kepada kaum Muslimah untuk menutup aurat dengan berhijab. Bagi sebagian Muslimah, anjuran ini dirasakan masih berat untuk dilaksanakan, terlebih di tengah kehidupan kota yang kian metropolis. Namun bagi sebagian lagi, berhijab merupakan karunia.

Dan Anneke Lutfia Putri, atau lebih dikenal sebagai Anneke Putri, mengaku beruntung sekali mendapat hidayah dari Allah SWT tersebut. Pemeran Emak dalam sinetron kondang Keluarga Cemara ini kini penampilannya sudah jauh berbeda. Ibu dua putri dan satu putra ini telah berhijab, tepatnya sejak lima tahun lalu.

Bukan kebetulan Anneke memutuskan untuk mengenakan hijab, melainkan karena yang bersangkutan telah memperoleh hidayah yang tidak terduga. Tak terduga, karena semula tak terlintas sama sekali dalam benaknya akan mengenakan kerudung. Semua berawal dari kegiatan rutinnya mengantar jemput putri pertamanya di salah satu sekolah Islam ternama di ibukota, lima tahun lalu. Ketika itu, ada peraturan bagi para siswa/siswi agar mengenakan pakaian Muslim/Muslimah setiap hari Senin dan Jumat. Maka sang buah hati pun turut mengenakan jilbab.

Hingga pada suatu saat Anneke tengah menunggu putrinya pulang sekolah, ia menemukan pencerahan yang lain. Saat itu, dilihatnya banyak ibu-ibu lain yang sama dengannya -- tanpa kerudung -- sedang menunggu anak masing-masing. Seketika itu juga muncul pertanyaan di hati, ''Kok, hanya anak-anak kita saja yang pakai jilbab sedangkan ibu-ibunya jarang yang pakai, termasuk pula dirinya?''

Pertanyaan tersebut makin lama makin berkecamuk di benak wanita kelahiran Banyuwangi, 24 Agustus 1966 ini. Akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya kepada sejumlah kenalannya mengenai hijab ini dan kedudukannya di mata agama.

Setelah beberapa lama berkonsultasi, timbullah keyakinan pada dirinya dan lantas mendorong Anneka untuk juga memakai hijab. "Pertama kali agak canggung juga. Apalagi pas saya ke sekolah anak saya dengan mengenakan hijab, banyak teman-teman sesama ibu-ibu yang kaget dan meledek 'eh ada Bunda Maria datang'. Saya sih biasa saja, dan saya anggap itu sebagai ujian," kenang Anneke.

Namun dia mengakui, saat itu dirinya masih belum mantap berhijab. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja hijab dikenakan, sementara di waktu lain, terutama saat syuting, penampilan pun kembali ke asal.

Istri sutradara Syaiful G Wathon itu memang sedang terlibat sinetron Keluarga Cemara saat itu, menggantikan pemeran sebelumnya, Novia Kolopaking. Ya apa boleh buat, demi tuntutan adegan, Anneke tidak bisa memakai hijab.

Pada bagian lain, keterlibatan di Keluarga Cemara dikatakannya sungguh membawa dampak yang luar biasa bagi dirinya. "Dorongan duniawi saya kuat, sementara ukhrawi segini-gini saja," kata dia lagi.

Hingga tibalah guliran waktu membawanya ke momen setelah dia pulang berumrah. Muncul tekad, untuk lebih memperbaiki kualitas diri. Sudah saatnya untuk mengejar kekayaan rohani dan mengurangi kesenangan duniawi.

Tapi kenyataanya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Meski semangat ukhrawi tumbuh, tetapi dorongan duniawi juga masih kuat. "Keimanan saya benar-benar diuji. Namun Alhamdulillah, entah bagaimana, rupanya saya masih disayang Allah SWT. Berangsur-angsur, saya bisa meninggalkan dorongan dunia dan memperbanyak amal ibadah," imbuhnya.

Berkat bimbingan suami dan teman-teman seiman, pada akhirnya Anneke mampu memantapkan diri menuju jalan yang diridai Allah SWT. Segala keinginan pun tercurah untuk selalu beristikomah. Dia juga rajin mengikuti kegiatan halaqah dengan arahan Ustadzah Eli Idris di Depok. Kegiatan ini masih rajin dilaksanakan sampai sekarang.

Tindak lanjutnya, maka dengan berat hati, wanita yang punya moto 'hidup mulia dan mati syahid' ini memutuskan mengundurkan diri dari sinetron Keluarga Cemara. "Sebenarnya memang berat, apalagi saya sudah akrab dengan pemeran yang lain. Tapi saya tidak menyesal karena saya menilai ini adalah keputusan terbaik bagi saya," kata Anneke mantap.

Ia bersyukur sang suami juga mendukung penuh keputusan tersebut. Anneke menyebut, suaminya adalah yang paling berperan dalam membimbing saat berhijrah. Dan dia masih ingat kata-kata suaminya. "Waktu itu dia bilang, kalau sudah berhijrah, harus mengamalkan Islam secara kaffah, jangan setengah-setengah. Sekali bertindak harus mantap," kata Anneke menirukan suaminya.

Jadilah sejak tiga tahun lalu, keluarga dan ibadah menjadi prioritasnya. Termasuk dalam berhijab, yang satu itu kian setia dikenakan. "Ya saya berusaha konsisten berhijab."

Kegiatannya di luar rumah mulai saat itu amatlah dia seleksi, tentu dengan lebih mementingkan aktivitas yang bermanfaat. Demikian pula yang kerap dipesankan oleh suaminya. Kalau acaranya dapat memberi manfaat dan memberi pelajaran, silakan. Tapi jika hanya untuk senang-senang lebih baik masuk rumah, begitu pesannya.

Di mata Anneke, tidak selamanya bergiat di rumah menjadi hal yang membosankan. Justru sebaliknya, banyak hal positif dan membahagiakan bisa diperoleh di dalam rumah. Berkumpul bersama keluarga dan anak-anak serta tadarus Alquran adalah beberapa di antaranya.

"Malah saya pikir saya tidak mendapatkan pengalaman batin yang indah dengan berkaraoke atau nongkrong di cafe. Senang-senang sesaat, tapi uang banyak keluar. Lebih indah berada di rumah," ungkapnya.

Nama lengkap : Anneke Lutfia Putri
Kelahiran : Banyuwangi, 24 Agustus 1966
Pendidikan : Sastra Inggris Universitas Nasional (lulus 1991)
London School of Public Relation
Suami : Syaiful G Wathon

*************************
Created at 3:09 PM
*************************

Cerpen Islami | Sunday, January 30, 2005


Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma....(1)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1405 H,

"Kenalkan, ini Rahma, baru tiga hari di sini," ucap ibu pemilik rumah
kost yang akan kutempati. Senyum manis dan tatap mata yang ramah menghiasi
wajahmu. Jilbab putih yang kau pakai semakin menambah keanggunan si pemilik
wajah yang memang cantik.
"Wilfa..., panggil saja Ifa," kataku sambil mengulurkan tangan. Engkau
menyambut dan menggenggam tanganku erat. "Rahma....," katamu lembut. "Mudah-
mudahan Ifa betah tinggal di sini," katamu lagi. "Mudah-mudahan," jawabku.
Itulah awal perkenalanku denganmu, mahasiswi baru asal Jogyakarta. Kita
menempati satu kamar di rumah Bu Santi, pemiliknya. Sikapmu yang ramah dan
terbuka membuat kita cepat akrab, sehingga teman-teman menyebut kita "Dua
Sejoli," di mana ada aku di situ ada kamu. Sejak OPSPEK sampai hari-hari
pertama kuliah kita lalui bersama. Susah senang kita tanggung bersama. Maka
tak heran bila hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari yang menyenangkan
bagi kita, karena masing-masing kita sudah seperti saudara satu sama lain
walaupun tempat asal kita berbeda, engkau dari Jogya, sedang aku dari Bandung.

Muharram 1406 H,

"Subhanallah......., kau kelihatan lebih anggun dengan pakaian itu," ucapmu
kagum. Aku tersipu-sipu malu. Kuperhatikan diriku di kaca dengan busama muslimah
plus jilbab yang kupinjam darimu. Ya, aku berniat memakainya besok pada perayaan
Tahun Baru Islam 1 Muharram di kampus kita. Ketika menjelang tidur, fikiranku
melayang pada kejadian tadi siang. Aku merasa, pantulan bayangan di cermin itu
bukanlah diriku. Kulihat sosok anggun yang memancarkan cahaya iman di balik
busana. Timbul hasrat di hatiku untuk bisa seperti bayangan itu. Tapi...akh,
tidak ! Diriku masih kotor, pengetahuanku tentang Islam masih dangkal, kelaku-
anku masih jauh dari apa yang digariskan Islam. Aku masih suka hura-hura dan
melakukan segala apa yang aku inginkan. Terbayang olehku orang tua dan saudara-
saudaraku di Bandung. Mereka, terutama Bapakku sangat mengharapkan agar aku
cepat menamatkan kuliahku dan bekerja di perusahaan besar tempat di mana Bapak-
ku memegang jabatan penting. Bapakku ingin agar aku seperti anak-anak dari
teman-teman relasinya yang saling berlomba-lomba mencapai kepuasan materi.
"Ada yang kaufikirkan, Fa?" pertanyaanmu mengejutkanku. "Boleh aku tahu ?":
tanyamu lagi. Aku menghela nafasku, dan berkata,"Rahma....,sudah setahun kita
bersama. Belajar..., berdiskusi..., bercanda..., seakan-akan kita tak berbeda."
Aku diam sejenak, kemudian menghela nafas lagi. "Apa maksudmu, Fa ?" tanyamu
sambil menatapku heran. "Yach...,walaupun teman-teman tidak pernah membedakan
kita, tapi hati kecilku tak dapat menyangkal. Ku akui, kita tidak sama. Ma...,
masing-masing kita sudah saling tahu, siapa kau dan siapa aku. Tapi sampai
sejauh itu kau tak pernah menyinggung tentang perbedaan kita. Kau tak pernah
menyinggung tentang pakaian dan penampilanku," kataku hati-hati. Engkau meman-
dangku lekat-lekat seakan ingin berusaha mengetahui isi hatiku. "Boleh kutanya
sesuatu padamu ?" tanyaku. Engkau mengangguk. "Ma..., aku ingin tahu bagaimana
perasaanmu ketika pertama kali kau kenakan busana muslimahmu itu," kataku.
Kulihat kau tersentak. Lama kau pandangi aku, kemudian berkata,"Sebelum kujawab
pertanyaanmu, secara jujur kukatakan bahwa sebenarnya telah lama aku menanti
pertanyaan seperti itu darimu. Dan baru sekarang kau menanyakannya, tanpa aku
harus memancingmu, karena memang itulah yang aku harapkan. Fa...,ketika pertama
kali kukenakan busana muslimah ini, berbagai perasaan ada di hatiku, sedih,
terharu, takut, dan perasaan tentram campur jadi satu. Sedih, karena orang
tuaku tak suka melihatku berjilbab. 'Terlalu fanatik', itu kata mereka. Terharu,
karena pertama kali dengan busana muslimah ini kuinjakkan kakiku di SMA, teman-
temanku juga kakak-kakak kelasku yang sudah berjilbab menyambutku dengan haru
dan memberi selamat kepadaku. Tapi rasa takut ketika itu masih menghantuiku
kalau kuingat cerita kakak-kakakku tentang sulitnya mencari pekerjaan bagi si
pemakai jilbab. Tapi..., lepas dari itu semua, ketentraman merasuk di hatiku.
Aku merasa diriku selalu berada dalam tatapan-Nya. Barulah saat itu kusadari,
itulah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yah..., kebahagiaan yang haqiqi.
Akhirnya cobaan-cobaan kuhadapi dengan tabah, karena aku yakin Allah senantiasa
akan menolong hamba-Nya yang sungguh-sungguh melaksanakan syari'at-Nya," katamu
dengan mata berkaca-kaca.

Entah mengapa, sejak itu aku mulai tertarik pada buku-buku Islam terutama
buku-buku tentang wanita, aku mulai rajin mengikuti ta'lim di sela-sela kesi-
bukan kuliah dan praktikumku. Diriku mulai terbiasa dengan rok dan kemeja
lengan panjang. Dan dalam lemariku sudah tersedia tiga buah jilbab yang senan-
tiasa kupakai ta'lim. Hari demi hari kita semakin dekat. Engkau sering menga-
jakku berdiskusi tentang Islam dan hal-hal yang pada mulanya masih terasa
asing bagiku. Akhirnya hasrat yang terpendam di hatiku selama ini mencapai
klimaksnya. Suatu malam kukatakan maksudku untuk berbusana muslimah kepadamu.
Sambil berlinang air mata engkau memelukku dan berkata :"Ifa..., aku bahagia
atas keputusanmu, kita kita sudah betul-betul sama, tidak ada lagi perbedaan
di antara kita. Semoga engkau mendapat berkah-Nya dan semoga Dia senantiasa
memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap berpegang pada syari'at-Nya."
Akhirnya malam yang penuh haru itu kita isi dengan Qiyamul lail untuk lebih
mendekatkan diri kepada-Nya.

(InsyaAllah bersambung)


Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma...(2)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1408 H

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kemarin kita telah menjalani
wisuda. Semua mahasiswa rantauan termasuk kita bersiap-siap pulang ke
kampung masing-masing."Selamat tinggal, kota hujan. Kota penuh kenangan.
Kota tempat kami menyatukan hati dan fikiran. Kota tempat kami menuai
benih-benih iman di hati." Itulah kata-kata terakhir dalam hatiku ketika
mulai menaikkan kaki ke dalam bis yang akan membawaku ke Bandung. Kesedihan
melanda hatiku ketika dalam perjalanan fikiranku melayang, teringat kata-
katamu terakhir kali saat kau mengantarku ke terminal. "Aku harap, kau bisa
datang ke walimahan kami di Jogya nanti," ucapmu sedih campur bahagia. Aku
pun turut bahagia karena tak lama lagi engkau akan mendapat pendamping seorang
ikhwan di kota kelahiranmu. "InsyaAllah, aku datang," ucapku bergetar menahan
haru dan sedih. Waktu itu kita berjanji untuk saling berkirim kabar lewat
surat. Hanya seraut wajah yang berlinang air mata dan lambaian tangan yang
kulihat lewat jendela kaca bis yang mulai bergerak. "Selamat tinggal, Rahma..."
ucapku dalam hati.
Kesedihanku belum reda ketika kulalui hari-hari pertamaku di Bandung,
kota kelahiranku. Tak terasa sebulan berlalu, rasa rindu ingin bertemu
denganmu mulai kutuangkan lewat surat pertamaku ke Jogya. Kutulis juga
permintaan maafku kepadamu atas ketidakhadiranku pada acara walimahanmu.
Walau saat itu ingin rasanya aku ke sana, tapi...musibah telah menimpa
Bapakku dalam perjalanan tugasnya ke Menado. Pesawat yang dinaikinya jatuh
dan beliau dipanggil ke hadirat-Nya. Dua minggu kemudian, suratmu datang.
Dalam suratmu kau mengatakan ikut merasakan kesedihanku dan berharap agar
aku tabah menghadapi musibah itu. Dari isi surat yang kautulis, aku menangkap
sinyal-sinyal kebahagiaan di balik goresanmu, ceritamu tentang Bang Hanif,
suamimu yang kaubilang kelewat sabar, dan sebuah kabar gembira karena kalian
sedang menunggu datangnya si buah hati.

Muharram 1410 H,

Dua tahun berlalu tanpa terasa. Kesibukan-kesibukanku sebagai guru sebuah
TK Islam menyita hampir seluruh waktuku. Walau begitu kusempatkan diriku
untuk membalas surat-suratmu. Tapi anehnya, surat terakhir yang kukirimkan
dua bulan yang lalu, sampai saat ini belum kau balas. Barangkali kau sibuk
dengan Aisyah kecilmu yang sudah berlari ke sana ke mari, mengajarkannya
mengaji, bernasyid, oh...alangkah bahagianya engkau. Aku melihat diriku
sendiri, seperempat abad sudah usiaku dan sampai kini masih tetap sendiri.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberikan aku seorang pendamping
yang akan memberiku buah hati seperti yang kau miliki. Aku tetap sabar menunggu
balasan darimu.
Suatu sore di hari Ahad, seorang perempuan setengah tua datang ke rumahku.
"Ini rumah Ibu Wilfa ?" tanyanya. "Ya, benar....saya sendiri Wilfa," jawabku.
Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk. Sambil mempersiapkan minuman, tak
henti-hentinya aku berfikir mengingat-ingat wajah wanita itu, wajah yang
seakan-akan memendam duka teramat dalam."Rasa-rasanya aku pernah melihatnya,
tapi...di mana ya....?" fikirku. Kupersilahkan dia minum, lalu kutanyakan
maksud kedatangannya mencariku. Setelah dia memperkenalkan diri, barulah aku
ingat bahwa dia adalah ibumu dari Jogya. Engkau pernah menunjukkan foto beliau
kepadaku dulu waktu kita masih kuliah. Sewaktu kutanyakan kepadanya tentang
keadaanmu, wajah yang sendu itu kelihatan bertambah sedih bahkan butiran-butiran
air mata mulai membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Di sela-sela isak
tangisnya, dia mengatakan bahwa engkau telah dipanggil ke hadirat-Nya seminggu
yang lalu. Yah....leukimia yang sejak SMA kau derita telah memisahkanmu dari
mereka yang mencintaimu. Aku terhenyak mendengar ini semua, seakan tak percaya.
"Rahmah, kenapa kau tak pernah bercerita padaku tentang penyakitmu," kataku
terisak. Wanita itu mengatakan bahwa engkau tak pernah menceritakan penyakit
yang kau derita itu pada siapapun termasuk aku dan suamimu. Ingatanku melayang,
teringat pada saat-saat terakhir bersamamu di terminal. Rupanya itulah saat
terakhir aku melihatmu. Engkau telah menghadap-Nya, mudah-mudahan engkau
bahagia di alam sana. Sebelum wanita itu pulang, beliau menyerahkan sepucuk
surat yang kautulis sebelum engkau pergi, dan dia berharap, agar aku dapat
memenuhi permintaan terakhir di surat itu. Kubuka surat itu, dan kubaca :
"Ukhti Wilfa, maafkan bila surat terakhirmu belum sempat kubalas. Aku sudah
merasa Dia akan memanggilku. Leukimia yang telah lama bersemayan di tubuhku
akan segera memisahkanku dari mereka yang kucintai dan mencintaiku. Maafkan
bila selama ini aku bersalah atau berdosa kepadamu. Aku berharap engkau bisa
memenuhi permintaan terakhirku. Tolong jaga Bang Hanif dan Aisyahku. Kuperca-
yakan mereka kepadamu. Aku sudah mengatakan masalah ini pada Bang Hanif, dan
dia berjanji akan berusaha memenuhi permintaanku. Aku mengharap ketulusan
hatimu, ukhti. Didiklah Aisyah bagaikan anak ukhti sendiri."

Wassalamu
Rahma

Air mataku mengalir bertambah deras. Aku hanya berdoa mudah-mudahan aku dapat
melaksanakan pesanmu dengan baik.

(InsyaAllah bersambung)
-----------------------

Judul: Kupenuhi Pesanmu, Rahma....(3)
Dari: Nies
Tanggal: Fri Dec 8

Muharram 1412 H

"Aisyah...., tolong temani dik Azzam sebentar. Umi mau buatkan susu
dulu," kataku sambil berlari ke dapur. Kesibukanku mendidik Aisyah dan
Azzam bertambah kalau Bang Hanif tidak di rumah. Beliau sedang menghadiri
peringatan tahun baru Islam 1 Muharram di masjid dekat rumah kami. Entah
mengapa, setiap datang bulan Muharram, aku teringat kembali kepadamu, Rahma.
Alhamdulillah...aku bisa memenuhi pesan terakhirmu, dua tahun yang lalu.
Ceritanya begini : Sebulah setelah Dia memanggilmu, seorang ikhwan beserta
gadis kecil berjilbab putih menemui paman dan ibuku untuk melamarku. Walaupun
aku belum pernah melihat Bang Hanif dan Aisyahmu, tapi perasaanku mengatakan
itulah mereka. Setelah kuceritakan isi surat itu kepada paman, akhirnya kami
pun menikah sebulan kemudian. Alhamdulillah....sekarang kami telah memiliki
dua buah hati yaitu Aisyah kita dan Azzam, buah hati kami.
Ukhti....,telah kupenuhi pesanmu. InsyaAllah, akan kudidik mereka agar
menjadi mujahid dan mujahidah yang nantinya akan membela Islam seperti apa
yang kita harapkan. Amiin yaa Robbal'aalamiin.

(Alhamdulillah tammat)
----------------------

(Majalah Ummi No. 4 tahun III Shafar 1412 H/Agustus 1991 M)


*************************
Created at 3:31 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

January 2005[x] September 2005[x] May 2006[x]